Sunday, May 23, 2010

Solahuddin Al Ayyubi Pahlawan Perang Salib

Siapapun akan takjub melihat indah dan megahnya benteng sholahuddin, benteng yang terletak di puncak tertinggi kota Kairo ( jabal muqottom ). Dari benteng ini, kota Kairo terlihat jelas. Dan karena alasan tersebut, pada tahun 1183 M seorang pahlawan perang salib, Sholahuddin al-Ayyuby.

Beliau membangun benteng itu sebagai tempat pertahanaan terakhir dan pengawasan bagi kota Kairo, Fustat dan sekitarnya.


Di utara benteng terdapat masjid Muhammad Ali Pasha yang dibangun dengan arsitektur Turki Utsmaniy disertai kubahnya yang indah menjulang 52 meter ke angkasa dan dua puncak menara dengan ketinggian lebih dari 84 meter . Mesjid ini terbuat dari marmer murni dengan dihiasi lampu-lampu kristal yang sangat besar dan banyak, sehingga menampilkan kesan eksotik dan mewah. Terdapat juga di dalamnya masjid Qolawun, sumur Yusuf dan dua buah musium; Museum Permata (Qashrul Jawharah) terdiri dari perhiasan raja - raja Mesir seperti singgasana Raja Farouk dan Museum Polisi (Mathaf as-Syuthah).

Pada tahun 1095 telah terjadi Perang salib; perang untuk merebut kota Jerussalem dari tangan orang Islam. Selain itu, juga merupakan permohonan kaisar Bizaintum terhadap kekaisaran Romawi untuk mempertahankan negrinya dari serangan Islam Saljuk. Dimotivasi oleh Paus Urbanus II yang mengumumkan ampunan dosa bagi setiap orang yang bersedia dengan suka rela mengikuti perang suci itu. Maka keluarlah ribuan umat Kristian dalam rangka meramaikan perang. Mereka yang ingin mengikuti perang ini diperintahkan agar meletakkan tanda salib di badannya; sehingga perang ini disebut Perang Salib.

Pada akhirnya kaum Salib dapat mengepung Baitul Maqdis yang dipimpin oleh anak-anak Raja Godfrey dari Lorraine Perancis, Bohemund dari Normandy dan Raymond dari Toulouse. Akan tetapi, penduduk kota suci itu tidak mau menyerah kalah begitu saja. Mereka berjuang mempertahankan kota Suci itu selama satu bulan. Pada 15 Juli 1099, Baitul Maqdis jatuh ke tangan pasukan salib dan tercapailah cita-cita mereka. Jerussalem tidak punya tempat lagi bagi orang-orang yang kalah. Beberapa orang mencoba mengelak dari kematian dengan cara mengendap-ngendap ke benteng, sedangkan yang lain berkerumun di berbagai menara untuk mencari perlindungan, terutama di masjid-masjid. Namun, mereka tetap tidak dapat menyembunyikan diri dari pengejaran orang-orang Kristian itu. Umat Islam dipaksa terjun dari puncak-puncak menara dan atap-atap rumah, mereka dibakar hidup -hidup, dari tempat persembunyian bawah tanah diseret ke hadapan umum dan digantung secara masal.

Jatuhnya kota suci Baitul Maqdis ke tangan kaum Salib sangat mengejutkan para pemimpin Islam. Mereka tidak menyangka kota suci yang telah dikuasainya selama lebih 500 tahun itu dapat dengan mudah direbut. Para penguasa negara Islam bersedia bergabung untuk merampas balik kota suci tersebut. Di antara pemimpin yang paling gigih berusaha menghalau tentera Salib ialah Imamuddin Zanki dan dilanjutkan oleh anaknya Nuruddin Zanki dengan dibantu panglima Asasuddin Syirkuh.

Setelah hampir empat puluh tahun tentara Salib menduduki Baitul Maqdis, Shalahuddin Al-Ayyubi lahir ke dunia. Keluarga Shalahuddin taat beragama dan berjiwa pahlawan. Ayahnya, Najmuddin Ayyub adalah seorang terkemuka dan beliau pulalah yang mentarbiyah Shalahuddin sejak kecil. Sholahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub dilahirkan di Irak pada tahun 532 Hijrah /1138 M dan wafat pada tahun 589 H/1193 M di Damsyik. Sholahuddin terlahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit (140 km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris, pada tahun 1137M. Masa kecilnya -selama sepuluh tahun- dihabiskan untuk belajar di Damaskus, di lingkungan dinasti Zangid yang memerintah Syria waktu itu, yaitu Nuruddin Zanki.

Selain belajar keislaman, Sholahuddin mendapat pelajaran kemiliteran dari pamannya Asadudin Shirkuh, seorang panglima perang Turki Seljuk. Bersama dengan pamannya, Sholahuddin menguasai Mesir dan mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimiyyah.
Pada tahun 549 H/1154 M, panglima Asasuddin Syirkuh memimpin tenteranya merebut dan menguasai Damsyik. Shalahuddin yang waktu itu baru berusia 16 tahun turut serta sebagai pejuang. Pada tahun 558 H/1163 M, panglima Asasuddin membawa Shalahuddin Al-Ayyubi yang berusia 25 tahun untuk menundukkan Daulah Fatimiyyah yang beraliran Syiah di Mesir. Dan pasukannya waktu itu terdiri dari Mamluk

(hamba atau pelayan kerajaan. Dari sinilah usaha dia berhasil mendirikan kerajaan Mamluki.

Khalifah Daulat Fatimiyah terakhir, Adhid Lidinillah dipaksa oleh Asasuddin Syirkuh untuk menandatangani perjanjian. Akan tetapi, wazir besar Shawar merasa cemburu melihat Syirkuh semakin populer di kalangan istana dan rakyat. Diam-diam Shawar pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh dari kekuasaannya di Mesir. Pasukan Salib yang dipimpin oleh King Almeric menyambut baik permintaan itu. Maka terjadilah pertempuran pasukan Asasuddin dengan King Almeric yang berakhir dengan kekalahan Asasuddin. Perjanjian damai pun dibuat antara tentara Salib dan panglima Asasuddin dan Shalahuddin. Keduanya diperbolehkan kembali ke Damsyik.

Kerjasama seorang wazir besar Shawar dengan orang -orang Salib itu telah menimbulkan kemarahan Nuruddin Zanki dan para pemimpin Islam lainnya termasuk Baghdad. Mereka pun mempersiapkan tentera besar yang dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menghukum si pengkhianat Shawar. Perang pun terjadi dengan mengalahkan pasukan King Almeric dan mengusit mereka dari Mesir.

Panglima Shirkuh dan Shalahuddin kembali ke ibu kota Kairo disambut dengan perlawanan dari pasukan Shawar. Akan tetapi, pasukan ini tidak bertahan lama, Shawar pun melarikan diri dan bersembunyi. Khalifah Al-Adhid Lidinillah terpaksa menerima dan menyambut kedatangan panglima Syirkuh untuk kedua kalinya.
Suatu hari, panglima Shalahuddin Al-Ayyubi berziarah ke kuburan seorang wali Allah di Mesir dan ternyata wazir besar Shawar bersembunyi di situ. Shalahuddin segera menangkap Shawar, membawanya ke istana dan dihukum mati.

Khalifah Al-Adhid melantik panglima Asasuddin Syirkuh menjadi Wazir Besar menggantikan Shawar. Beliau tidak lama memegang jabatan, dikarenakan wafat pada tahun 565 H/1169 M. Kemudian Khalifah Al-Adhid melantik panglima Shalahuddin Al-Ayyubi menjadi Wazir Besar menggantikan Syirkuh, atas persetujuan pembesar Kurdi dan Turki. Walaupun berada di bawah Khalifah Daulat Fatimiyyaah, Shalahuddin tetap melantik Nuruddin Zanki sebagai pemimpinnya. Nuruddin Zanki berulang kali mendesak Shahalahuddin agar menangkap Khalifah Al-Adhid dan merebut kekuasaannya. Kemudian diserahkan kembali pada Daulah Abbasiah di Baghdad. Baru pada tahun 567 H/1171 M, Shalahuddin mengumumkan runtuhnya Daulah Fatimiyyah dengan menyerahkan kuasa sepenuhnya kepada Daulah Abbasiah. Ketika peralihan kekuasaan itu dibuat, Khalifah Al-Adhid sakit keras sehingga dia tidak mengetahui peristiwa besar yang sedang menimpa negerinya. Sehari setelah pengumuman itu, Khalifah Al-Adhid wafat dan dikebumikan sebagaimana Khalifah.

Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fatimiyyah yang dikuasai oleh kaum Syi’ah selama 270 tahun. Kondisi ini telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan Ahlus sunnah di seluruh negara Islam, terlebih lagi Mesir.Mereka sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yang dengan bijaksana melakukan hal itu secara aman dan damai.Bertepatan dengan peristiwa ini, Panglima Besar Shalahuddin Al-Ayyubi meresmikan masjid Al-Azhar yang selama ini dikenal sebagai pusat pengajian Syiah, menjadi pusat pengajian Ahlus sunnah Wal Jamaah.

Tatkala Damsyik mendapat serangan kaum Salib, Shalahudin menggerakkan pasukannya ke Syiria untuk mempertahankan kota tersebut. Kemudian Shalahuddin menyatukan Syiria dengan Mesir sekaligus membuat Dinasti Al-Ayyubiyah dengan beliau sebagai Amir pertama.

Tidak lama kemudian, Sultan Shalahuddin dapat menggabungkan Negeri-Negeri An-Nubah, Sudan, Yaman dan Hijaz kedalam kekuasaannya yang besar. Negara di Afirka yang telah diduduki oleh terntara Salib dari Normandy juga telah dapat direbut dalam waktu singkat. Dengan ini, kekuasaan Shalahuddin menjadi besar dan kekuatan tentaranya juga sudah mencukupi untuk mengusir tentera Kristian yang menduduki Baitul Maqdis selama berpuluh tahun.

Sifatnya yang lemah lembut, zuhud, wara dan sederhana membuat rakyat sangat mencintainya. Demikian juga para ulama yang senantiasa mendoakan agar cita-cita sucinya untuk merampas kembali Tanah Suci berhasil dengan baik.

Setelah merasa kuat, Sultan Shalahuddin menumpukan perhatiannya untuk meghancurkan tentara Salib yang menduduki Baitul Maqdis dan merebut kota Suci itu kembali. Cara pertama yang digunakan adalah mengajak mereka berdamai. Kaum Salib menyangka bahawa Shalahuddin telah menyerah kalah. Mereka menerima perdamaian tersebut dengan sombong. Shalahuddin hampir tertawan. Akhirnya, beliau kembali ke markas dan menyusun kekuatan yang lebih besar.

Suatu kejadian yang mengejutkan Shalahuddin setelah perjanjian damai disepakati, yaitu tindakan sudah mengira bahwa orang-orang Kristian itu akan mengkhianati perjanjiannya. Untuk ini, beliau telah mempersiapkan pasukannya.

Ternyata perkiraan Shalahuddin tidak salah, baru saja perjanjian itu disepakati, kaum Salib telah membuat pelanggaran. Sultan Shalahuddin segera bergerak melancarkan serangan, tapi kali ini beliau mendapat kegagalan dan seorang panglima Salib, Count Rainald de Chatillon, bergerak bersama pasukannya untuk menyerang kota Makkah dan Madinah. Akan tetapi pasukan ini mendapat perlawanan mujahid Islam di Laut Merah, sehingga pasukan Count Rainald berusaha mundur dan kembali ke Jerussalem. Dalam perjalanan pulang, mereka berjumpa dengan kafilah yang mengiringi saudari shalahuddin. Tanpa berfikir panjang, Count dan pasukannya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka termasuk saudari Shalahuddin. Dengan angkuh Count berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untuk menyelamatkan mereka?”.

Seorang anggota kafilah yang dapat meloloskan diri melaporkan hal tersebut kepada Shalahuddin.. Sultan sangat marah terhadap gencatan senjata itu, iapun mengirim utusan ke Jerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Akan tetapi, mereka tidak memberikan jawaban. Akhirnya, Sultan keluar membawa pasukan untuk menghukum kaum Salib yang sering mengkhianati janji itu. Terjadilah pertempuran sangat besar di gunung Hittin, perang inipun dikenal dengan Perang Hittin.

Dalam pertempuran ini Shalahuddin menang besar. Pasukan musuh yang berjumlah 45,000 orang hancur binasa dan hanya tersisa beberapa ribu saja yang -sebagian besar- menjadi tawanan, termasuk Count Rainald de Chatillon. Mereka dibawa ke Damaskus. Count Rainald yang telah menawan saudari perempuan Sultan dan menghina Nabi Muhammad itu digiring ke hadapan Sultan, lantas berkata: “Nah, bagaimana jadinya, telah terbukti bagi engkau sekarang! Apakah saya tidak cukup menjadi pengganti Nabi Besar Muhammad untuk melakukan pembalasan terhadap berbagai penghinaanmu itu?”.

Shalahuddin mengajak Count masuk Islam, tapi dia tidak mu. Maka dia pun dihukum mati karean telah menghina Nabi Muhammad. Setelah melalui banyak peperangan dan menaklukkan berbagai benteng dan kota, sampailah Sultan Shalahuddin pada tujuan utamanya yaitu merebut kembali Baitul Maqdis. Kini beliau mengepung Jerussalem selama empat puluh hari, membuat penduduk di kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan mengalami kekurangan bahan pokok dan makanan. Waktu itu Jerussalem dipenuhi dengan orang-orang pelarian perang Hittin. Tentera pertahanannya sendiri tidak kurang dari 60,000 orang.

Pada mulanya Sultan menyerukan agar kota Suci itu diserahkan secara damai. Beliau tidak inginseperti yang dilakukan oleh Godfrey dan orang-orangnya pada tahun 1099 yang melakukan membalas dendam. Akan tetapi, pihak Kristian menolak tawaran baik tersebut, bahkan mereka mengangkat Komandan Perang untuk mempertahankan kota itu. Karena mereka menolak seruan, Sultan Shalahuddin bersumpah akan membunuh semua orang Kristian di kota itu demi membalas dendam atas peristiwa 90 tahun yang lalu. Mulailah pasukan kaum Muslimin melancarkan serangan ke kota dengan anak panah dan manjanik.

Kaum Salib membalas serangan dari dalam benteng. Setelah empat belas hari melakukan serangan, kekuatan kaum Salib melemah sehingga beberapa pemimpin Kristian menemui Sultan Shalahuddin dan menyatakan keinginannya untuk menyerahkan kota Suci secara aman serta melindungi nyawa mereka. Akan tetapi, Sultan menolak dengan berkata: “Aku tidak akan menaklukkan kota ini kecuali dengan kekerasan sebagaimana kamu dahulu menaklukinya dengan kekerasan. Aku tidak akan membiarkan seorang Kristian pun melainkan terbunuh sebagaimana engkau membunuh semua kaum Muslimin di kota ini dulu". Pemimpin Jerussalem datang menghadap Sultan dengan merendahkan diri dan minta dikasihani. Membujuk sekaligus merayu dengan segala cara, akan tetapi Sultan tidak merespon mereka.

Akhirnya ketua Kristian berkata: “Jika engkau tidak mau berdamai, kami akan membunuh semua tahanan (terdiri dari kaum Muslimin sebanyak 4000 orang) yang ada pada kami. Kami juga akan membunuh anak cucu kami dan perempuan-perempuan kami. Setelah itu kami akan binasakan rumah-rumah dan bangunan-bangunan yang indah, semua harta dan perhiasan yang ada pada kami akan kami bakar. Kami juga akan memusnahkan Kubah Shahra’, kami akan hancurkan semua yang ada sehingga tidak ada satupun yang bisa dimanfaatkan lagi. Setelah itu, kami akan keluar untuk berperang mati-matian. Jika hal itu terjadi, kebaikan apalagi yang engkau bisa harapkan?”.

Setelah mendengar kata-kata itu, Sultan Shalahuddin menjadi lembut dan bersedia untuk memberikan keamanan bagi mereka. Maka berlangsunglah penyerahan kota secara aman dengan syarat setiap penduduk harus membayar uang tebusan. Laki-laki membayar sepuluh dinar, perempuan lima dinar dan anak-anak dua dinar. Barangsiapa yang tidak mampu membayar tebusan akan menjadi tawanan kaum Muslimin dan menjadi hamba sahaya. Semua rumah, senjata dan alat-alat peperangan lainnya menjadi milik kaum Muslimin. Mereka diperbolehkan pergi ke tempat manapun. Mereka diberi tempo selama empat puluh hari untuk memenuhi syarat tersebut. Bagi yang tidak sanggup memenuhinya sampai batas waktu yang ditentukan, maka ia akan menjadi tawanan. Ternyata, ada 16,000 orang Kristian yang tidak sanggup membayar uang tebusan dan kesemuanya ditahan sebagai hamba sahaya.

Pada hari Jumaat 27 Rajab 583 Hijrah, Sultan Shalahuddin bersama kaum Muslimin memasuki Baitul Maqdis dengan melantunkan “Allahu Akbar” dan bersyukur kehadirat Allah SWT. Air mata kegembiraan menetes di pipi kaum Muslimin. Para ulama berdatangan dan mengucapkan selamat terhadap Sultan Shalahuddin atas keberhasilan yang dicapai.

Jatuhnya Jerussalem ke tangan kaum Muslimin membuat Eropa marah. Mereka melancarkan sumbangan yang disebut “Saladin tithe”, yaitu derma wajib untuk melawan Shalahuddin yang hasilnya digunakan untuk membiayai perang Salib. Dengan angkatan perang yang besar, beberapa raja Eropa berangkat untuk merebut kembali kota Suci itu. Maka terjadilah perang Salib ketiga yang sangat sengit. Namun, Shalahuddin masih dapat mempertahankan Jerussalem. Setahun setelah perang Salib ke-tiga, Sultan Shalahuddin pulang kerahmatullah.

Sultan Shalahuddin adalah seorang pahlawan yang menghabiskan waktunya dengan bekerja keras siang dan malam untuk Islam. Hidup nya sangat sederhana. History of the World menyebutkan sifat-sifat Shalahuddin sebagai berikut: “Keberanian dan keberhasilan Sultan Shalahuddin itu terjelma seluruhnya pada perkembangan keperibadian yang luar biasa. Sudah menjadi kebiasaan bagi Sultan Shalahuddin membacakan Kitab Suci Al-Quran kepada pasukannya menjelang pertempuran berlangsung. Minumannya tidak lain hanya air putih, memakai pakaian yang terbuat dari bulu yang kasar, dan mengizinkan dirinya dipanggil ke pengadilan. Beliau juga mengajarkan anak-anaknya sendiri tentang agama Islam…….”. Seluruh kaum Muslimin yang menyaksikan kepergiannya menitiskan air mata. Kekuasaannya yang terbentang luas dari Asia hingga Afrika itu hanya meninggalkan warisan, 1 dinar dan 36 dirham. Tidak meninggalkan emas, tanah bahkan kebun.

0 comments:

Post a Comment

Kasih saran ya temen-temen